Sektor logistik, sebagai unsur pembentuk konektivitas untuk
meningkatkan daya saing nasional dan kesejahteraan rakyat, masih
dianggap lemah. Kelemahan ini bisa dilihat dari berbagai indikator yang
dikeluarkan beberapa lembaga internasional maupun dari berbagai
permasalahan yang muncul di lapangan.
Setijadi, Chairman Supply Chain Indonesia (SCI), mengatakan bahwa
untuk membenahi berbagai permasalahan sekaligus mengembangkan sektor
logistik, pemerintahan baru perlu menyiapkan tiga pilar sektor logistik
Indonesia. Sebagaimana dilansir jurnalmaritim.com, ketiga pilar tersebut
adalah: Undang-Undang Logistik, Rencana Pembangunan Jangka Panjang
(RPJP) Logistik, dan kelembagaan logistik.
Pemerintah perlu mendorong pembentukan UU Logistik agar tercipta
sinkronisasi dan harmonisasi hukum. Sesudah dibentuknya UU Logistik,
aktivitas-aktivitas bisnis logistik melalui berbagai kelembagaan akan
lebih memperoleh kepastian hukum. Selain itu, bisnis-bisnis tersebut
akan berjalan dengan tertib dan mencerminkan keadilan, berdasarkan
prinsip-prinsip Good Governance (GG) dan Good Corporate Governance
(GCG).
UU Logistik tersebut diperlukan sebagai acuan menurunkannya dalam
peraturan perundangan di bawahnya, baik di tingkat pusat maupun daerah.
Saat ini, regulasi yang menjadi acuan sistem logistik adalah Cetak
Biru Pengembangan Sistem Logistik Nasional (Sislognas) yang ditetapkan
Perpres No. 26 Tahun 2012.
Di sisi lain, bagian-bagian dalam sistem logistik justru diatur dalam
bentuk UU seperti UU No. 23/2007 tentang Perkeretaapian, UU No. 17/2008
tentang Pelayaran, UU No. 1/2009 tentang Penerbangan, dan UU No.22/2009
tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
Ketidaktepatan tingkat dan tatanan regulasi tersebut berdampak dalam
tahap implementasi. Indikasi utamanya adalah ketidakberhasilan
pencapaian berbagai program dan rencana aksi Sislognas.