Dalam dua minggu terakhir ini kita disuguhi berita berita yang kurang
mengenakkan. Asap menyelimuti kota kota besar di sebagian Sumatera dan
Kalimantan. Terutama terjadi di daerah sekitar perkebunan kelapa sawit.
Pemerintah dengan segala kewenangannya seolah llimbung. Tidak mampu
mengatasi masalah yang terjadi hampir di setiapkali musim kemarau
tiba. Kebakaran hutan dan ladang yang disinyalir “disengaja” ini selalu
terjadi.
Kabut asap tentu saja menurunkan derajat kesehatan masyarakat.
Merusak sendi sendi aktivitas keseharian warga. Bahkan, diakui atau
tidak, asap telah mengganggu akitvitas ekonomi secara nasional.
Menurunnya kualitas kesehatan masyarakat sudah dibahas banyak pakar.
Akar musabab kebakaran juga sudah banyak dibicarakan para ahli. Para
pemimpin pun sangat paham akan duduk persoalannya.
Akan tetapi, entah mengapa pemerintah daerah seolah tak berdaya.
Pemerintah pusat pun terkesan lepas tangan. Isu lokal yang sudah menjadi
isu internasional itu seolah mencoreng nasionalisme kita. Dan lagi
lagi, pejabat berwenang “tak bisa berbuat apa apa”.
Rumor yang berkembang di masyarakat adalah, bahwa akar dari seluruh
masalah ini adalah “korupsi”. Baik di tingkat pusat, hingga menjalar ke
tingkat pemerintahan terendah di daerah.
Namun ini hanyalah rumor yang berkembang dari mulut kemulut dan dari
posting status di media sosial. Rumor yang tak bisa
dipertanggungjawabkan kebenarannya. Akan tetapi, karena pemerintah
terkesan tak peduli, bau tak sedap itu berhembus kian kencang.
Penulis tidak ingin mengulas atau membuktikan rumor yang berkembang.
Sesuai dengan apa yang saya pahami, saya akan membahas sedikit tentang
kerugian yang ditimbulkan akibat kabut asap. Kerugian yang ada
hubungannya dengan masalah logistik dan transportasi.
Informasi dari berbagai sumber terpercaya menjelaskan bahwa kabut
asap telah mengganggu kegiatan transportasi sungai. Paling tidak ini
terjadi di Sungai Batang Hari – Jambi. Lalu, Sungai Musi di Sumatera
Selatan dan Sungai Mahakam di Kalimantan Timur.
Dari pantauan kawan kawan jasa pengiriman barang, volume cargo lewat
moda transportasi sungai turun drastis dalam kurun waktu sebulan
terakhir.
Kabut asap menjadikan kapal sulit berlayar karena jarak pandang yang
sangat terbatas (hanya dalam hitungan meter). hal ini menjadikan
kecepatan kapal harus dikurangi. Bahkan dalam beberapa kasus, kapal
harus berhenti karena pekatnya asap.
Melambatnya laju kapal berakibat langsung dengan waktu tempuh yang
semakin lama. Artinya, uang jalan sarana transportasi pun membengkak.
Waktu perjalanan yang sudah direncanakan berubah, tidak sesuai dengan
yang sudah dijadwalkan.
Seorang kawan di Sumatera Selatan mengatakan bahwa akibat kabut asap,
pembengkakan biaya operasional kapal di Sungai Musi (dari luar hingga
pelabuhan dalam kota Palembang) berlipat. Hal ini dikarenakan kapal
harus bergantian mengantri untuk keluar masuk pelabuhan.
Biaya operasional bertambah hanya untuk menunggu giliran. Celakanya
lagi, banyak kapal tak bisa dioperasikan karena kepadatan antrian. Hal
ini tentu saja mengurangi pemasukan. Sementara itu, beban leasing
relatif tetap.
Hal diatas, tentu saja membuat biaya transportasi di negeri ini yang
sudah mahal menjadi semakin mahal. Biaya logistik meningkat beberpa kali
lipat.
Tidak hanya sebatas itu saja. Kabut asap juga membuat beberapa
penerbangan terganggu. Sebagai contoh ekstrim adalah ditutupnya Bandar
Udara Melala di Kutai Barat semenjak 4 Oktober 2014.
Bandara lain pun terganggu, mesti belum sampai pada taraf penutupan.
Pelabuhan udara ketapang di Kalimantan Barat, Palembang, Jambi,
Banjarmasin, Pontianak, Palangkaraya dan Pekanbaru terpaksa harus “buka
tutup”.
Bisa dibayangkan, berapa kerugian yang timbul akibat kabut asap
tersebut ? Baik kerugian materi karena gagal transaksi, maupun kerugian
non materi karena mobilisasi masyarakat yang terganggu.
Diperkirakan, kerugian karena kabut asap di kisaran angka ratusan miliar rupiah.
Melalui media ini, saya hanya bisa berharap bahwa kebakaran hutan
segera diatasi. Kalau memang pelaku bisnis perkebunan sengaja membakar,
maka sewajarnya pemerintah memberikan gajaran setimpal.
Demi tegaknya hukum dinegeri ini. Demi terwujudnya kwalitas kesehatan
masyarakat luas. Demi harga diri bangsa dan nasionalisme. Sebaiknya
pemerintah tidak ragu lagi membawa pelaku kejahatan ini ke meja hijau.