Biaya logistik nasional dinilai masih
sangat tinggi sehingga belum mampu mendongkrak daya saing produk
Indonesia di era perdagangan bebas Masyarakat Ekonomi Asean (MEA).
Pemerintahan baru Joko Widodo (Jokowi)-Jusuf Kalla (JK) harus bekerja keras untuk menurunkannya.
Staf Ahli Bidang Logistik dan Multimoda Kementerian Perhubungan
(Kemenhub) Sugihardjo mengatakan, dalam beberapa tahun terakhir negara
tetangga di kawasan Asia Tenggara sudah mampu melaksanakan efisiensi
sehingga biaya logistik beransur-ansur turun. Sementara biaya logistik
di Indonesia tidak banyak bergerak.
"Bicara daya saing, logistik performence
index kita sekarang rangking 59 dari 155 negara, tapi biaya logistik
tiga tahun terakhir masih 24 persen dari PDB (product domestic bruto),"
kata Sugihardjo, kemarin (21/10).
Dia mencontohkan, ongkos pengiriman via darat di Indonesia jauh lebih mahal dibanding Malaysia.
"Dengan jarak yang sama sekitar 55
kilometer, dari Pasir Gudang ke Tanjung Pelepas di Malaysia biayanya
sekitar USD 450 dengan waktu 1-2 jam. Sementara biaya logistik yang
dibutuhkan untuk satu kontainer dari Cikarang ke pelabuhan Tanjung Priok
biayanya USD 600 dan memakan waktu 4-8 jam perjalanan, apalagi kalau
macet," katanya.
Bukan hanya perjalanan darat yang memakan biaya dan waktu, pengiriman
barang melalui jalur laut juga sangat mahal. Ongkos pengapalan dari
Padang menuju Tanjung Priok sebesar USD 600 per kontainer, sementara
ongkos pengapalan dari Singapura ke Tanjung Priok hanya USD 185 per
kontainer.
"Ini memunculkan kekhawatiran pada saat MEA nanti kita hanya akan menjadi penonton saja," sebutnya.
Sugihardjo juga menilai bongkar pasang dan penyandaran kapal di
pelabuhan memakan waktu yang cukup lama. Pelabuhan Indonesia (Pelindo),
lanjutnya, masih memiliki rata-rata bongkar pasang dan keluar masuk
pelabuhan sekitar tiga hari dari idealnya hanya dua hari.
"Selama ini kita memang lebih
konsentrasi terhadap pergerakan orang, tapi bagaimana pergerakan barang
tidak di perhatikan. Padahal pergerakan barang sangat mendorong
pertumbuhan ekonomi nasional," tukasnya.
Untuk menekan biaya logistik, kata Sugihardjo, jalan satu-satunua
hanyalah membangun infrastruktur yang memadai. Harus dibangun jalan tol
khusus yang menghubungkan kawasan industri dengan pelabuhan. Disamping
itu, perlu juga diperbanyak jumlah pelabuhan. Setidaknya ada satu
pelabuhan setiap 40 kilometer garis pantai.
"Sistem logistik nasional juga harus
didukung pengembangan teknologi informasi, seperti national single
windows dan Inaport," katanya.
Wakil Ketua bidang Logistik Kadin Carmelita Hartoto menilai kontribusi
biaya logistik yang 24 persen dari PDB (product domestic bruto)
merupakan angka yang sangat fantastis jika dibandingkan negara-negara
lain.
"Kita harus mengakui bahwa saat ini
Singapura, Malaysia, Vietnam dan Thailand adalah empat negara yang
memiliki system logistik lebih" baik di kawasan Asean, jadi kita harus
waspada dengan mereka," tandasnya.
Hingga saat ini, kata dia, sejumlah hambatan masih terjadi yang meliputi
buruknya kondisi infrastruktur, alat angkut penunjang logistik serta
kondisi regulasi logistik yang belum mendukung kepentingan industri.
Oleh karena itu, pada pemerintahan baru
ini, pihaknya berharap ada keseriusan untuk membenahi Sistem Logistik
Nasional (Sislognas) yang sudah ada.
"Kita sudah tidak memiliki waktu panjang untuk membenahi logistik nasional," jelasnya.